Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para
filosof, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa
pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan.
Perbedaan itu antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai berbeda-beda,
sehingga menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Dalam filsafat, dikenal dengan beberapa aliran atau
pandangan antara lain Idealisme, Realisme, Materialisme, Pragmatisme, dan
lain-lain. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian
menghasilkan filsafat pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan,
dihasilkan beberapa teori atau aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran
filsafat pendidikan Barat yang berkembang antara lain: Progressivisme,
Essensialisme, Perennialisme, Rekonstruktivisme, dan Eksistensialisme.
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama
filsafat pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep
keilmuan yang melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya,
konsep keilmuan ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam
spektrum tradisi intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, kita dapat
menyimpulkan bahwa khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan
uniform, melainkan variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran
keislaman lainnya.[1]
1.
ALIRAN KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)
Tokoh-tokoh
aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu
Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran
al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini memaknai ilmu dengan
pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama hanyalah ilmu-ilmu yang
dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa manfaat di akhirat kelak.[2]
Al-Ghazali
mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.
Berdasarkan pembidangannya, ilmu
dibagi menjadi dua bidang:
a) Ilmu
ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu
al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat sahabat dan ijma.
b) Ilmu
furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan
akhlak.
c) Ilmu
pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu
bahasa dan gramatika.
d) Ilmu
pelengkap (mutammimah).
2) Ilmu
ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu
yang berasal dari ijtihad ulama’ atau intelektual muslim,[4] terdiri atas:
a) Ilmu
terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b) Ilmu
yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah,
puisi.
c) Ilmu
yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian
tertentu dari filsafat.
b.
Berdasarkan status hukum mempelajarinya,
dapat digolongkan menjadi:
1)
Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu
muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang
fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan
ilmu Mukasyafah.
2)
Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah
mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya.
Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan
rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan rasiolah manusia mampu
menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola
umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a.
Kegiatan menuntut ilmu tiada
lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.
Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan
sepuluh kode etik peserta didik.
c.
Tujuan agamawi merupakan tujuan
puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.
Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus
mengawali belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya. Kemudian, ilmu-ilmu yang perlu diprioritaskan
adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits, Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran
konservatif antara lain:
a.
Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan
saat sekarang yang bisa membawa manfaat di akhirat.
b.
Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan
adalah sia-sia.
c.
Ilmu hanya bisa diperoleh
melalui rasio.
2.
ALIRAN RELIGIUS-RASIONAL (AL-DINIY AL-‘AQLANIY)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi,
Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di
belahan dunia Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas
Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[5],
yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang diketahui pada
benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses pengajaran adalah usaha
transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar menjadi riil, atau dengan
kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu
(mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui) secara
riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat
transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.[6]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan
keutamaan-keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi
penyebab keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan
supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[7] Pandangan
dualisme jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran
Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia
fisik-materiil dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia
menempuh laju “linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan
jalan indera, jiwa dapat mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi
dirinya; (2) Dengan jalan burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa
mengetahui sesuatu yang lebih tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan
rasional, jiwa dapat mengetahui substansi dirinya.[8]
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap
bahwa belajar tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap
bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang
tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang
tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam
disiplin ilmu yang berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia.
Implikasinya adalah konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa
pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a.
Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
1)
Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2)
Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3)
Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian
informasi keagamaan)
4)
Ilmu pengkajian sunnah dan
hokum.
5)
Ilmu ceramah keagamaan, ilmu
kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b.
Ilmu-ilmu Filsafat
1)
Riyadliyyat
(ilmu-ilmu eksak)
2)
Mantiqiyyat
(retorika-logika)
3)
Thabi’iyyat (ilmu
kealaman atau fisika)
4)
Teologi
(ketuhanan).
c.
Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1)
Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
2)
Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
3)
Ilmu hitung dan transaksi
4)
Ilmu syi’ir dan prosa
5)
Ilmu peramalan
6)
Ilmu tenun dan sihir
7)
Ilmu profesi
8)
Ilmu jual-beli
9)
Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis
manusia secara “fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam
tingkatan, yaitu:
a.
Potensi al-ghadziyyah (organ-organ tubuh yang berguna untuk
mencerna makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.
Potensi perasa, yaitu bias
merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.
Merespons dan bereaksi.
d.
Mempersepsi dan menghafal
stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.
Potensi mutakhayyilah
(imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan
aneka model.
f.
Potensi muthlaqah
(mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang indah dan yang
jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan
seiring dengan tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan
manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional
ini antara lain:
a.
Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari
aktivitas belajar.
b.
Modal utama ilmu adalah indera.
c.
Lingkup kajian meliputi
pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.
Ilmu pengetahuan adalah hal
yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.
Semua ragam ilmu pengetahuan
adalah penting.
3.
ALIRAN PRAGMATIS (AL-DZARAI’IY)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh
Pragmatisme Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat
pada pandangan pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam
pendidikan adalah segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar
jangkauan pancaindera.[9]
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran
adalah tabi’i (pembawaan) manusia
karena adanya kesanggupan berfikir.[10] Pendidikan
bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk
mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan keuntungan,
karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan
fungsionalnya, yaitu:
a.
Ilmu-ilmu yang bernilai
instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan Teologi.
b.
Ilmu-ilmu yang bernilai
ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal: kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy,
dan logika bagi ilmu filsafat.[11]
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah
pikir rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b.
Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi
dari orang terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan
lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan
“karya-cipta” khusus yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah
jahil (tidak tahu), ia menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber
pengetahuan rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan menjadikannya
sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas
yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan
gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok
pemikiran aliran Pragmatis antara lain:
a.
Manusia pada dasarnya tidak
tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.
Akal merupakan sumber otonom
ilmu pengetahuan.
c.
Keseimbangan antara pengetahuan
duniawi dan ukhrawi.
[1]Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah”
Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam:
Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran
Utama Teori Pendidikan Islam : Perspektif Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud
Arif, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002),
74-75.
[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta:
Ciputat Press, 2002), 90.
[4]Ibid.
[5]Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari
para filosof-moralis, yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan
transformasi sosial, namun tidak melalui radikal-revolusioner, melainkan
melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
[6]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Islam,78.
[8] Ibid.,
87.
[9]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), 99.
[10]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 125.
0 komentar:
Posting Komentar