Hisbah merupakan panggilan, oleh karena itu muhtasib melakukannya semata-mata karena Allah, yakni membantu orang agar dapat mengerjakan hal-hal yang menumbuhkan kesehatan fisik, mental dan sosial, dan menjauhkan mereka dari perbuatan yang merusak.
Bentuk amar ma'ruf dalam hisbah ialah menyuruh dan menghendaki kliennya mengerjakan yang ma'ruf, yakni semua hal yang dituntut syara, termasuk perbuatan dan perkataan yang membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat, yang wajib maupun yang sunat. Sedangkan bentuk nahi munkar dalam hisbah ialah meminta klien menjauhi yang munkar, yakni semua yang dilarang syara`, termasuk perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kesulitan bagi pribadi dan masyarakat.
Sudah barang tentu hisbah dilakukan dengan prinsip suka sama suka, bersifat sugesti dan introspeksi, sehingga klien menyadari betul manfaat perbuatan ma'ruf dan bahayanya perbuatan munkar, dan dengan itu klien terdorong pada perbuatan baik dan allergi terhadap yang mungkar, kuat motivasi positipnya dan padam motivasi negatipnya.Hisbah juga dilakukan dengan lemah lembut.
Nabi pernah mencontohkan bagaimana menanamkan suatu pengertian kepada orang yang memang belum memiliki pengertian tentang suatu kebaikan dan kemunkaran artinya: Seorang pemuda mendatangi Rasul dan bertanya secara lantang di hadapan orang banyak; Wahai Nabi Allah, apakah engkau dapat mengizinkan aku untuk berzina? Mendengar pertanyaan yang tidak sopan itu orang-orang ribut mau memukulinya, tetapi Nabi segera melarang dan memanggil, Bawalah pemuda itu dekat-dekat padaku. Setelah pemuda itu duduk di dekat Nabi, maka Nabi dengan santun bertanya kepada pemuda itu: Bagaimana jika ada orang yang akan menzinahi ibumu? Demi Allah aku tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu. Nabipun meneruskan, nah begitu pula orang tidak akan membiarkan hal itu terjadi pada ibu mereka. Bagaimana jika terhadap anak perempuanmu? Tidak, demi Allah, aku tidak akan membiarkannya, kata pemuda itu. Nabi melanjutkan, bagaimana jika terhadap saudara perempuanmu? Tidak juga, ya Rasul, Demi Allah aku tidak akan membiarkannya, kata si pemuda. Nabi meneruskan, Nah begitu juga orang tidak akan membiarkan putrinya atau saudara perempuanya atau bibinya dizinahi.
Nabi kemudian meletakkan tangannya ke dada pemuda itu sambil berdoa; Ya Allah bersihkanlah hati pemuda ini, ampunilah dosanya dan jagalah kemaluannya. (H.R. Ahmad dari Abu Umamah)Menurut parawi hadis tersebut, sejak peristiwa itu sang pemuda tidak lagi menengok kiri kanan untuk berbuat zina. Dalam hadis itu jelas digambarkan bahwa dalam menghadapi pemuda itu Nabi tidak menempatkan diri sebagai subyek yang melarang atau memberi nasehat, tetapi hanya mengantar sang pemuda untuk berfikir jernih tentang implikasi zina bagai orang lain, dan selanjutnya sang pemuda itulah yang harus menjadi subyek dirinya untuk memutuskan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Secara psikologis, manusia memang satu-satunya makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus. Tentang hukum hisbah, para fuqaha berbeda pendapat antara fardlu 'ain dan fardlu kifayah. Yang pertama mendasarkan pendapatnya pada firman Allah:
Artinya:
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Taubah:71)
Khalifah Umar bin al Khattab adalah orang pertama yang mengatur pelaksanaan hisbah sebagai suatu sistem dengan merekrut dan mengorganisir muhtasib (konselor) dan kemudian menugaskan mereka ke segala pelosok kaum muslimin guna membantu orang-orang yang bermasalah. Khalifah berikutnya juga meneruskan kebijaksanaan Umar, sehingga ketika itu jabatan muhtasib menjadi jabatan yang terhormat di mata masyarakat. Menurut Ibnu Khaldun, hisbah itu merupakan tugas keagamaan dalam bidang/amar makruf nahi munkar, yang merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh pemerintah.
Bentuk-bentuk ihtisab/hisbah ketika itu menurut Kamal Ibrahim Mursi antara lain :
- Pemberian nasehat (mau'idzah hasanah)
- Bimbingan ringan secara individual
- Bimbingan berat secara individuil
- Bimbingan missal
Sistem hisbah seperti ini berakhir pada akhir masa khalifah Usman bin Affan, selanjutnya pada masa-masa sesudahnya fungsi-fungsi hisbah ini diambil oper oleh aparat pemerintah, dengan nuansa yang berbeda. Pengambil operan hisbah oleh negara nantinya memunculkan istilah wilayat al, Hisbah dalam Fiqh al Siyasah/sistim politik Islam seperti yang dibahas oleh al Mawardi dalam al Ahkam as Sulthoniyyah
0 komentar:
Posting Komentar